GuruGembul.id – Suara azan, pengajian, dan ceramah yang terlalu keras memunculkan protes dari masyarakat yang merasa terganggu karena kebisingan tersebut. Namun banyak orang yang takut untuk memprotes karena khawatir akan dipersekusi, dikucilkan dan sebagainya.

Muncul pro-kontra terkait penggunaan toa masjid yang sembarangan. Warga tak berani kritik, lantaran toa dan masjid sudah dianggap “suci” oleh masyarakat Indonesia.

Bukankah semakin keras suara adzan maka semakin bagus karena makin banyak yang dipanggil sholat?

Padahal dengan sangat sederhana kita bisa menjawab dilema itu dengan mudah, yaitu “sesuatu yang berlebihan hasilnya pasti tidak baik“. Misalnya obat, jika dikonsumsi berlebihan akan membuatmu overdosis lalu meninggal, pun suara masjid juga sama.

Sayangnya, penjelasan ini sulit diterima karena tidak memuaskan. Manusia cenderung menyukai pendapat yang memang ingin ia percaya dibanding nilai kebenaran di dalamnya.

Dalil Volume Adzan dan Toa Masjid

Maps tata letak masjid di suatu wilayah
Maps tata letak masjid dan musholla di suatu wilayah

Sebenarnya syarat adzan itu dikatakan sah adalah suaranya terdengar lebih dari satu calon jamaah sholat. Iya, hanya itu saja. Meski begitu, ada juga haditz yang menganjurkan volume dengan maksimal, dasarnya sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ: أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَهُ: إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ.َ فَإذَا كُنْتَ فِي غَنَمِك -أَوْ بَادِيتِكَ- فَأَذَّنْتَ لِلصَّلاَةِفَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata kepadanya, ‘Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah badui (pedalaman). Maka bila kamu sedang (mengembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalamanmu lalu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suara azanmu. Sebab, sungguh tidak lah jin, manusia, dan makhluk apa pun yang mendengar ujung suara muazin kecuali akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat.’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW,’ HR Al-Bukhari,”.

Tentu ada syarat dan ketentuan saat mengumandangkan adzan dengan maksimal. Misalnya di daerah pegunungan yang hanya ada satu masjid saja dan letak rumahnya saling berjauhan, bukan pemukiman padat.

Dan jaman dulu belum pakai speaker!

Sialnya, mayoritas muslim menggunakan suara maksimal di semua situasi dan kondisi. Pembelaan suara adzan harus keras:

Kita ibaratkan suara azan seperti kita akan berangkat menggunakan kereta atau pesawat. Dipastikan sebelum kereta atau pesawat berangkat akan ada panggilan bagi penumpangnya. Sebuah panggilan tidak akan disampaikan dengan cara sembunyi-sembunyi dan berbisik-bisik melalui telinga.

Argumen tersebut terasa brilian bagi orang bodoh lainnya. Cara berpikir seperti ini memang lazim ditemukan di Indonesia, namanya dikotomi.

Dikotomi artinya hanya memandang sesuatu dari dua sudut yang saling bertentangan, misal: keras dengan lembut, hitam dan putih, baik dan buruk.

Dengan berpikir dikotomis, seseorang cenderung melihat dunia dalam bentuk lawan yang saling berhadap-hadapan. Dunia tidak hitam-putih.

Dikotomis tidak sepenuhnya buruk tapi sudah pasti membuat pikiran kita terbatas. Volume suara adzan tidak boleh keras artinya hanya boleh pelan?

Sungguh konyol, padahal di tengahnya ada suara yang wajar/tidak bising. Tidak musti pelan tapi volume standar yang mampu ditoleransi.

Tidak mengapa volume adzan itu keras tapi perangkatnya harus layak. Ini juga sudah diatur oleh Menag.

Tak perlu menggunakan speaker merk Sonos, Harman Kardon atau Bose, yang penting layak. Gak bikin kuping sakit.

Sudah lumrah terjadi bagaimana pemukiman padat diperdengarkan suara adzan lima kali sehari dengan volume keras sekaligus dikepung oleh beberapa speaker masjid yang melakukan hal serupa.

Pikiran dikotomi yang lebih ekstrem:

Anda tidak suka mendengar suara azan? Artinya anda benci dengan Islam, berarti anda seorang zionis?!

(‘-,-) Maaf bang, iya saya salah … (tidak perlu debat lagi, percayalah padaku)

Aturan Hukum Terkait Pengeras Suara

Gambar pengeras suara di masjid
Gambar pengeras suara di masjid (unsplash.com/Mufid Majnun)

Padahal ada lebih banyak anjuran untuk tidak mengganggu ketentraman orang lain, baik secara hukum formal ataupun hukum islam. Apalagi yang mendengar suara itu bukan hanya muslim, semua kuping umat beragama ikut mendengar tanpa terkecuali.

Kira-kira berapa banyak orang yang merasa terganggu? Tidak ada?!

Sudah pasti ada.

Pertanyaan sebenarnya adalah, apakah yang merasa tertanggu berani protes?

Kita semua tau jawabannya.

Komplain masjid berisik
https://surakarta.suara.com/read/2021/10/15/132526/suara-azan-disebut-berisik-warga-tak-berani-komplain-takut-disebut-penista-agama

Bagaimana mungkin agama yang berlandaskan kedamaian sekaligus bangga atas toleransi justru merampas hak orang lain!? Hak menikmati ketenangan.

Berikut beberapa hadis yang menganjurkan panggilan ibadah ini dilaksanakan dengan sewajarnya, tidak berlebihan.

لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي

Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.” Tafsir Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M).


خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وَخَيرُ الجِيرَان عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. حم ت ك عَنِ ابْنِ عُمَرَو. إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Artinya, “Teman terbaik di sisi Allah adalah orang terbaik bagi temannya dan tetangga terbaik di sisi Allah adalah orang terbaik bagi tetanggnya,” HR Ahmad dalam Al-Musnad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim.


Al-A’raf Ayat 55

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةًۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.


 

يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ…

Artinya, “Disunnahkan mengeraskan suara adzan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat memperdengarkan dirinya sendiri; dan bagi orang yang adzan untuk jamaah di atas volume yang dapat memperdengarkan satu (1) orang dari mereka” (Lihat Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 238).


“Dari Abu Sa’id [diriwayatkan] ia berkata; Rasulullah saw. beriktikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (al-Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (al-Qur’an) atau dalam shalatnya” HR. Abu Dawud.

Akan lebih baik pengelola masjid menyesuaikan kegiatan yang bersifat ‘ubudiyah dan aspek sosial-kemasyarakatan, antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, serta menerima berbagai masukan positif dari masyarakat sekitar terkait dengan model pengelolaan masjid.

Aturan Menteri Agama

Mengutip dari laman Hukum Online (04/24), dalam lampiran Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978 dijelaskan syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain yaitu tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir, dan sholat karena pelanggaran seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.

Lebih lanjut, suara yang memang harus ditinggikan adalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat.

Selain itu, dijelaskan pula dalam SE Menag 05/2022 bahwa suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya, yakni memenuhi persyaratan suara yang bagus atau tidak sumbang dan pelafazan secara baik dan benar.

Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan salat tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam;

Sudah ada aturannya, kenapa tidak ditaati? Karena dilanggar pun tidak ada sanksinya.

Sellow bae, bro!

Mayoritas toa masjid yang berisik berasal dari aliran NU (Nahdlatul Ulama) yang menterinya agamanya sendiri adalah Gus Yaqut pentolan GP Ansor, salah satu badan otonom dari NU atau biasa disebut netizen sebagai franchise.

Protes = Persekusi

Ilustrasi seorang pria sedih dan depresi (unsplash.com/Kato Blackmore 🇺🇦)
Ilustrasi seorang pria sedih dan depresi (unsplash.com/Kato Blackmore 🇺🇦)

Seseorang hanya menginginkan volume suara dikecilkan, bukan mengganti suara adzan dengan lagu mars perindo. Mohon lah untuk dipertimbangkan.

Persekusi

Wanita itu menyarankan untuk mengecilkan volume toa masjid. Pengelola masjidnya tidak mau, mereka tidak ketemu jalan tengah. Sang suami minta maaf atas protes istrinya tapi warga terlanjur geram.

Warga mulai berkerumun dan merusak rumah Meiliani. Mereka bahkan turut merusak, membakar dan menjarah Vihara Tri Ratna yang ada di Tanjungbalai.

Si Meiliana dipenjara sedangkan warga yang merusak vihara dan rumah masih baik-baik saja. Ini bukan ketidakadilan, ini adalah privilege.

Apakah anda iri dengan privilege tersebut? Mari saya bantu login, asyadu ….

Ini adalah contoh bagus untuk non-muslim supaya tetap diam, jangan terlalu banyak menuntut. Tempat ibadah kalian masih berdiri saja, itu sudah menjadi bentuk dari toleransi tingkat tinggi.

Indonesia menjunjung tinggi asas demokrasi. Apakah anda lupa poin paling penting untuk negara demokrasi? Ya! Suara terbanyaklah yang menang.

Akhir Kata

Ilustrasi protes toa masjid
Ilustrasi protes toa masjid

Adzan, yang sejatinya adalah panggilan mulia untuk shalat, tiba-tiba menjadi pembenaran untuk menyerang orang lain. Alih-alih memikirkan inti dari ibadah—yakni kedamaian, keikhlasan, dan pengertian-beberapa orang lebih sibuk memastikan bahwa simbol agama harus dipertahankan dengan keras, baik secara volume maupun sikap.

Bukankah ironis? Agama yang seharusnya menjadi sumber ketenangan justru berubah menjadi alasan untuk kerusuhan.

Padahal, jika volume itu bisa dikurangi tanpa merusak makna adzan, bayi tetap tidur nyenyak, dan shalat tetap bisa dilaksanakan. Tapi, di sini, logika sering kalah oleh ego kolektif yang dibalut simbol kesucian.

Sebab, di negeri ini, menghormati orang lain terkadang lebih rendah nilainya daripada menghormati speaker.

Semua argumen yang dipaparkan di artikel ini mempunyai dasar, baik itu data maupun fakta di lapangan. Mohon maaf bila menyinggung.

Author

SEO Specialist - Started learning SEO in 2018 and delved deeper into it in 2020. Currently, I'm a full-time blogger, building and developing several personal websites.

Write A Comment