وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
wa qâtilû fî sabîlillâhilladzîna yuqâtilûnakum wa lâ ta‘tadû, innallâha lâ yuḫibbul-mu‘tadîn
190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Suara Lantunan Surat Al-Baqarah Ayat 190
Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 190
Tafsir Wajiz
Ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah SWT untuk berperang di jalan-Nya. Perang ini dimaksudkan untuk membela diri, kehormatan agama, dan melawan orang-orang yang memerangi umat Islam.
Namun, Allah SWT menekankan bahwa perang tersebut harus dilakukan dengan batasan yang jelas. Dilarang membunuh wanita, anak-anak, orang lanjut usia, tuna netra, lumpuh, dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan.
Melampaui batas tersebut merupakan pelanggaran etika perang dan tidak disukai oleh Allah SWT.
Beberapa poin penting dari ayat ini:
- Perintah untuk berperang di jalan Allah dengan tujuan membela diri dan agama.
- Larangan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan, seperti wanita, anak-anak, dan orang tua.
- Pentingnya menjaga etika perang dan tidak melampaui batas.
Hikmah di balik ayat ini:
- Menjaga keadilan dan mencegah kezaliman dalam peperangan.
- Melindungi kelompok-kelompok rentan yang tidak mampu berperang.
- Menunjukkan kemuliaan Islam dan akhlak mulia dalam situasi peperangan.
Perintah untuk berperang di jalan Allah harus diiringi dengan batasan yang jelas dan etika perang yang mulia. Melampaui batas dan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan merupakan pelanggaran yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Tafsir Tahili
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang termasuk dalam ayat-ayat awal yang memerintahkan kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik jika mereka diserang secara mendadak, bahkan jika serangan itu terjadi pada bulan-bulan haram, yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada zaman jahiliah, bulan-bulan tersebut dianggap sebagai bulan larangan berperang. Meskipun Islam mengakui larangan tersebut, namun karena orang-orang musyrik telah melanggarnya terlebih dahulu, Allah mengizinkan kaum Muslimin untuk membalas serangan tersebut.
Sebelum hijrah, tidak ada ayat yang memperbolehkan kaum Muslimin untuk berperang. Tidak ada perselisihan di kalangan para mufasir bahwa pada masa itu peperangan dilarang dalam agama Islam. Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat 194, diturunkan ketika terjadi perdamaian Hudaibiah, yaitu perjanjian damai antara kaum musyrikin Mekah dan umat Islam dari Medinah. Perjanjian ini dilakukan di suatu tempat di jalan antara Jeddah dan Mekah, yang dulunya dikenal dengan nama Hudaibiah, yang merupakan nama sumur atau mata air di tempat tersebut. Peristiwa ini terjadi pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriah.
Perjanjian Hudaibiah berisi beberapa poin, di antaranya:
- Rombongan Rasulullah saw harus kembali ke Medinah pada tahun itu.
- Pada tahun berikutnya, yaitu tahun ketujuh Hijriah, Rasulullah saw dan para sahabatnya diizinkan masuk ke Mekah untuk melaksanakan umrah.
- Selama sepuluh tahun ke depan, tidak akan ada perang antara musyrikin dan Muslimin.
Pada tahun berikutnya, Rasulullah saw kembali ke Mekah dengan rombongannya untuk melaksanakan umrah, yang dikenal sebagai umrah qadha karena tahun sebelumnya mereka gagal melakukannya.
Ketika perjanjian perdamaian tersebut terjadi, kaum Muslimin khawatir bahwa musyrikin akan melanggar janji mereka, tetapi kaum Muslimin tidak ingin berperang di tanah haram Mekah, terutama pada bulan-bulan haram. Oleh karena itu, ayat-ayat ini diturunkan sebagai panduan dalam menghadapi situasi tersebut.
Dalam ayat 190, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk memerangi musuh yang memerangi mereka, dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menegakkan agama-Nya. Perang yang dilakukan dalam jalan Allah (fi sabilillah) adalah perang yang dilakukan dengan tujuan tersebut, bukan karena keberanian, dendam, atau sekadar ingin dipuji. Dalam perang yang dijalankan dalam jalan Allah, seorang mukmin dilarang untuk melanggar berbagai aturan, seperti membunuh anak-anak, orang tua yang lemah, wanita yang tidak ikut berperang, orang yang menyerah, atau para pendeta, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Gambar Surat Al-Baqarah Ayat 190
Asbabun Nuzul Surat Al Baqarah
Surah Al-Baqarah diawali dengan huruf muqatha'ah, yakni alif-lam-mim, dengan tujuan menarik perhatian pembaca terhadap pesan-pesan Ilahiah yang akan diungkapkan dalam surah ini. Huruf-huruf muqatha'ah ini memiliki ciri khas pembacaan yang terputus-putus.
Selain itu, surah ini juga dikenal sebagai Fustatul Qur'an (Puncak Al-Qur'an) karena berisi beberapa hukum yang tidak tercantum dalam surah-surah lainnya. Dalam Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, diungkapkan bahwa empat ayat awal surah Al-Baqarah diturunkan khusus mengenai orang-orang mukmin.
Di samping itu, dua ayat membahas orang-orang kafir, sementara tiga belas ayat lainnya berkaitan dengan orang-orang munafik. Hubungan antara mukmin, kafir, dan munafik, menurut Djohan Effendi, secara khusus terkait dengan aspek keberagamaan yang ditemukan dalam surat Al-Baqarah.
Keterangan mengenai QS. Al-Baqarah
Surat Al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat turun di Madinah, sebagian besar pada awal tahun Hijriah, kecuali ayat 281 yang diturunkan di Mina saat Hajji Wadaa' (haji terakhir Nabi Muhammad SAW). Keseluruhan ayat dalam Surat Al-Baqarah termasuk dalam golongan Madaniyyah, menjadikannya surat terpanjang di antara surat-surat Al-Qur'an, dengan satu ayat khusus yang dikenal sebagai ayat terpancang, yaitu ayat 282. Surat ini dinamai Al-Baqarah karena mengisahkan perintah Allah kepada Bani Israil untuk menyembelih sapi betina (ayat 67-74), yang menggambarkan sifat umum orang Yahudi. Gelar Fusthatul-Quran (Puncak Al-Quran) diberikan karena surat ini memuat sejumlah hukum yang tidak terdapat dalam surat-surat lainnya. Sebagai tambahan, surat ini juga dikenal sebagai surat Alif-laam-miim karena dimulai dengan Alif-laam-miim.
Surat Al-Baqarah, sebagai surat kedua dalam Al-Qur'an, memiliki beberapa peristiwa dan sebab turun (Asbabun Nuzul) yang berkaitan dengan konteks kehidupan Nabi Muhammad saw. dan masyarakat Muslim pada masa itu. Beberapa Asbabun Nuzul yang signifikan yang terkait dengan Surat Al-Baqarah adalah sebagai berikut:
Pertempuran Badar
Salah satu peristiwa penting yang menjadi latar belakang turunnya sebagian ayat Surat Al-Baqarah adalah Pertempuran Badar. Pertempuran ini berlangsung pada tahun kedua Hijriyah antara pasukan Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. dan pasukan Quraisy Makkah. Ayat-ayat dalam Surat Al-Baqarah menyentuh aspek moral dan etika perang, serta memberikan panduan bagi para Muslim dalam menghadapi ujian pertempuran tersebut.
Pertanyaan Kaum Yahudi
Beberapa ayat dalam Surat Al-Baqarah juga turun sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi Madinah yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat ini memberikan jawaban dan penjelasan terhadap berbagai isu hukum dan keagamaan yang diajukan oleh kaum Yahudi.
Peristiwa Penyembelihan Korban Hewan Kurban
Ayat-ayat dalam Surat Al-Baqarah juga turun sebagai pedoman bagi umat Islam dalam pelaksanaan ibadah penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha. Terdapat ketentuan-ketentuan tertentu yang dijelaskan dalam surat ini terkait dengan penyembelihan, pembagian daging, dan tujuan spiritual di balik pelaksanaan kurban.
Perkara Hukum dan Etika Sosial
Sejumlah ayat dalam Surat Al-Baqarah turun untuk mengatasi situasi hukum dan etika sosial yang muncul dalam masyarakat Muslim Madinah. Termasuk di antaranya adalah hukum-hukum pernikahan, perceraian, hukuman bagi pencuri, dan berbagai aspek lainnya yang membutuhkan panduan hukum dan etika Islam.
Masalah Keuangan dan Perdagangan
Surat Al-Baqarah juga turun untuk memberikan pedoman terkait keuangan dan perdagangan kepada umat Islam. Beberapa ayat memberikan petunjuk mengenai riba, transaksi perdagangan, dan kewajiban sedekah, yang mencerminkan tatanan ekonomi Islam.
Dengan demikian, Surat Al-Baqarah turun sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu. Ayat-ayatnya memberikan panduan moral, etika, hukum, dan pedoman kehidupan sehari-hari, menciptakan landasan ajaran Islam yang komprehensif bagi umatnya.
Kapan turunnya surat Al Baqarah?
Surat Al-Baqarah turun secara bertahap di Madinah, sebagian besar pada awal tahun Hijriah. Proses penurunan ini mencakup periode waktu yang relatif panjang, dan tidak ada tanggal yang spesifik yang dapat diidentifikasi untuk seluruh surat tersebut. Namun, ayat-ayat Surat Al-Baqarah diturunkan pada masa permulaan kediaman Nabi Muhammad SAW di Madinah, setelah peristiwa Hijrah dari Makkah.
Surat Al-Baqarah adalah surat ke-2 dalam Al-Qur’an. Surat ini terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniyah. Surat ini merupakan surat dengan jumlah ayat terbanyak dalam Al-Qur’an.
Asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya), Surat Al-Baqarah turun secara bertahap selama sembilan tahun. Nama Al Baqarah (sapi betina), diambil dari kisah yang dibicarakan dalam ayat 61--71 tentang penyembelihan seekor sapi.
Sebagian besar surat tersebut diturunkan untuk memberikan bimbingan, hukum, dan prinsip-prinsip kehidupan kepada umat Islam di Madinah, serta untuk menanggapi berbagai situasi dan pertanyaan yang muncul dalam masyarakat Muslim pada saat itu. Meskipun tidak ada tanggal pasti yang diberikan untuk penurunan seluruh surat, kontennya memberikan pandangan mendalam terhadap perkembangan masyarakat Muslim Madinah pada masa tersebut.