الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
al-ḫajju asy-hurum ma‘lûmât, fa man faradla fîhinnal-ḫajja fa lâ rafatsa wa lâ fusûqa wa lâ jidâla fil-ḫajj, wa mâ taf‘alû min khairiy ya‘lam-hullâh, wa tazawwadû fa inna khairaz-zâdit-taqwâ wattaqûni yâ ulil-albâb
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Suara Lantunan Surat Al-Baqarah Ayat 197
Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 197
Tafsir Wajiz
Bulan Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah menjadi saksi bisu pergerakan jutaan umat Islam dalam balutan ihram, menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah. Musim haji bukan sekadar waktu, tetapi momen spiritual yang menandai perjalanan spiritual umat Islam.
Kesucian hati dan lisan menjadi landasan utama dalam berhaji. Jemaah diwajibkan menjaga ucapan, menghindari perbuatan maksiat, dan menjauhi pertengkaran, demi menciptakan suasana ibadah yang kondusif dan penuh kedamaian.
Kesadaran bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, menjadi pengingat bagi jemaah untuk selalu menjaga keikhlasan dan ketulusan dalam setiap amalan.
Persiapan fisik dan ruhani menjadi kunci kelancaran ibadah haji. Bekal fisik meliputi kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di Tanah Suci. Bekal ruhani yang terpenting adalah takwa, yaitu ketaatan kepada Allah SWT.
Takwa merupakan esensi dari ibadah haji. Dengan takwa, jemaah haji diharapkan mampu menjadi manusia utuh lahir batin, yang senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Musim haji bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang transformasi diri. Di balik kesucian Tanah Suci, jemaah haji berkesempatan untuk meningkatkan ketakwaan, mensucikan diri dari dosa, melatih kesabaran, disiplin, dan kepedulian, mempererat persaudaraan antar umat Islam, dan menunjukkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT.
Tafsir Wajiz memberikan panduan mendalam tentang musim haji, mengingatkan jemaah untuk mempersiapkan diri dengan baik, baik secara fisik maupun ruhani. Dengan bekal takwa, jemaah haji diharapkan dapat melaksanakan ibadah haji dengan sempurna dan menjadi manusia utuh lahir batin.
Poin-poin penting:
- Musim haji bukan sekadar waktu, tetapi momen spiritual.
- Etika berhaji mencerminkan kesucian hati dan lisan.
- Kesadaran akan pengetahuan Allah SWT menumbuhkan keikhlasan dan ketulusan.
- Persiapan fisik dan ruhani, dengan takwa sebagai kunci utama.
- Musim haji: transformasi diri menjadi manusia utuh lahir batin.
Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili memaparkan pemahaman mendalam tentang waktu pelaksanaan, larangan, dan bekal yang diperlukan dalam ibadah haji.
Ibadah haji memiliki waktu yang telah ditetapkan, yaitu pada bulan Syawal, Zulkaidah, dan hingga terbit fajar pada malam 10 Zulhijjah. Ketentuan ini bersumber dari riwayat Ibnu Abbas dan diamalkan dalam mazhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Imam Ahmad. Penetapan waktu haji ini telah berlaku sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan dipertahankan dalam Islam.
Jemaah haji dilarang melakukan perbuatan yang dapat mengganggu kekhusyu’an ibadah, seperti bersetubuh, berkata kasar, melanggar larangan agama, berolok-olok, bermegah-megahan, bertengkar, dan bermusuhan. Fokus utama jemaah haji adalah berbuat kebaikan, memusatkan hati dan pikiran pada ibadah, mencari keridaan Allah SWT, dan selalu mengingat-Nya.
Membawa bekal yang cukup, baik fisik seperti makanan, minuman, dan pakaian, maupun ruhani seperti takwa, sangat penting untuk kelancaran ibadah haji. Bekal fisik membantu jemaah dalam melaksanakan ibadah secara optimal, sedangkan bekal takwa menjaga mereka dari perbuatan tercela dan membantu mereka fokus pada ibadah.
Takwa merupakan kunci utama dalam mencapai kebahagiaan dan keberuntungan dalam berhaji. Dengan takwa, jemaah akan terhindar dari dosa dan maksiat, dan fokus pada ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT.
Tafsir Tahlili memberikan panduan komprehensif tentang waktu, larangan, dan bekal yang diperlukan dalam ibadah haji. Dengan memahami makna dan ketentuan haji secara mendalam, diharapkan jemaah haji dapat mempersiapkan diri dengan baik dan melaksanakan ibadah haji dengan sempurna.
Gambar Surat Al-Baqarah Ayat 197
Asbabun Nuzul Surat Al Baqarah
Surah Al-Baqarah diawali dengan huruf muqatha'ah, yakni alif-lam-mim, dengan tujuan menarik perhatian pembaca terhadap pesan-pesan Ilahiah yang akan diungkapkan dalam surah ini. Huruf-huruf muqatha'ah ini memiliki ciri khas pembacaan yang terputus-putus.
Selain itu, surah ini juga dikenal sebagai Fustatul Qur'an (Puncak Al-Qur'an) karena berisi beberapa hukum yang tidak tercantum dalam surah-surah lainnya. Dalam Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, diungkapkan bahwa empat ayat awal surah Al-Baqarah diturunkan khusus mengenai orang-orang mukmin.
Di samping itu, dua ayat membahas orang-orang kafir, sementara tiga belas ayat lainnya berkaitan dengan orang-orang munafik. Hubungan antara mukmin, kafir, dan munafik, menurut Djohan Effendi, secara khusus terkait dengan aspek keberagamaan yang ditemukan dalam surat Al-Baqarah.
Keterangan mengenai QS. Al-Baqarah
Surat Al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat turun di Madinah, sebagian besar pada awal tahun Hijriah, kecuali ayat 281 yang diturunkan di Mina saat Hajji Wadaa' (haji terakhir Nabi Muhammad SAW). Keseluruhan ayat dalam Surat Al-Baqarah termasuk dalam golongan Madaniyyah, menjadikannya surat terpanjang di antara surat-surat Al-Qur'an, dengan satu ayat khusus yang dikenal sebagai ayat terpancang, yaitu ayat 282. Surat ini dinamai Al-Baqarah karena mengisahkan perintah Allah kepada Bani Israil untuk menyembelih sapi betina (ayat 67-74), yang menggambarkan sifat umum orang Yahudi. Gelar Fusthatul-Quran (Puncak Al-Quran) diberikan karena surat ini memuat sejumlah hukum yang tidak terdapat dalam surat-surat lainnya. Sebagai tambahan, surat ini juga dikenal sebagai surat Alif-laam-miim karena dimulai dengan Alif-laam-miim.
Surat Al-Baqarah, sebagai surat kedua dalam Al-Qur'an, memiliki beberapa peristiwa dan sebab turun (Asbabun Nuzul) yang berkaitan dengan konteks kehidupan Nabi Muhammad saw. dan masyarakat Muslim pada masa itu. Beberapa Asbabun Nuzul yang signifikan yang terkait dengan Surat Al-Baqarah adalah sebagai berikut:
Pertempuran Badar
Salah satu peristiwa penting yang menjadi latar belakang turunnya sebagian ayat Surat Al-Baqarah adalah Pertempuran Badar. Pertempuran ini berlangsung pada tahun kedua Hijriyah antara pasukan Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. dan pasukan Quraisy Makkah. Ayat-ayat dalam Surat Al-Baqarah menyentuh aspek moral dan etika perang, serta memberikan panduan bagi para Muslim dalam menghadapi ujian pertempuran tersebut.
Pertanyaan Kaum Yahudi
Beberapa ayat dalam Surat Al-Baqarah juga turun sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi Madinah yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat ini memberikan jawaban dan penjelasan terhadap berbagai isu hukum dan keagamaan yang diajukan oleh kaum Yahudi.
Peristiwa Penyembelihan Korban Hewan Kurban
Ayat-ayat dalam Surat Al-Baqarah juga turun sebagai pedoman bagi umat Islam dalam pelaksanaan ibadah penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha. Terdapat ketentuan-ketentuan tertentu yang dijelaskan dalam surat ini terkait dengan penyembelihan, pembagian daging, dan tujuan spiritual di balik pelaksanaan kurban.
Perkara Hukum dan Etika Sosial
Sejumlah ayat dalam Surat Al-Baqarah turun untuk mengatasi situasi hukum dan etika sosial yang muncul dalam masyarakat Muslim Madinah. Termasuk di antaranya adalah hukum-hukum pernikahan, perceraian, hukuman bagi pencuri, dan berbagai aspek lainnya yang membutuhkan panduan hukum dan etika Islam.
Masalah Keuangan dan Perdagangan
Surat Al-Baqarah juga turun untuk memberikan pedoman terkait keuangan dan perdagangan kepada umat Islam. Beberapa ayat memberikan petunjuk mengenai riba, transaksi perdagangan, dan kewajiban sedekah, yang mencerminkan tatanan ekonomi Islam.
Dengan demikian, Surat Al-Baqarah turun sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu. Ayat-ayatnya memberikan panduan moral, etika, hukum, dan pedoman kehidupan sehari-hari, menciptakan landasan ajaran Islam yang komprehensif bagi umatnya.
Kapan turunnya surat Al Baqarah?
Surat Al-Baqarah turun secara bertahap di Madinah, sebagian besar pada awal tahun Hijriah. Proses penurunan ini mencakup periode waktu yang relatif panjang, dan tidak ada tanggal yang spesifik yang dapat diidentifikasi untuk seluruh surat tersebut. Namun, ayat-ayat Surat Al-Baqarah diturunkan pada masa permulaan kediaman Nabi Muhammad SAW di Madinah, setelah peristiwa Hijrah dari Makkah.
Surat Al-Baqarah adalah surat ke-2 dalam Al-Qur’an. Surat ini terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniyah. Surat ini merupakan surat dengan jumlah ayat terbanyak dalam Al-Qur’an.
Asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya), Surat Al-Baqarah turun secara bertahap selama sembilan tahun. Nama Al Baqarah (sapi betina), diambil dari kisah yang dibicarakan dalam ayat 61--71 tentang penyembelihan seekor sapi.
Sebagian besar surat tersebut diturunkan untuk memberikan bimbingan, hukum, dan prinsip-prinsip kehidupan kepada umat Islam di Madinah, serta untuk menanggapi berbagai situasi dan pertanyaan yang muncul dalam masyarakat Muslim pada saat itu. Meskipun tidak ada tanggal pasti yang diberikan untuk penurunan seluruh surat, kontennya memberikan pandangan mendalam terhadap perkembangan masyarakat Muslim Madinah pada masa tersebut.