GuruGembul.id – Pasti kamu sering melihat konten para influencer yang sering membagikan tips sukses di usia muda ala mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa konten seperti itu mempunyai pasar yang sangat luas.
Lagian siapa sih yang gak pengen kaya, apalagi kalau caranya cepet?!
Sayangnya, banyak orang tergoda dan terlena dengan iming-iming seperti itu. Padahal cara yang mereka berikan belum tentu berhasil dan tidak ada kekayaan yang didapat dengan cara instan.
Kecuali orang tuamu kaya, korupsi atau pakai cara kuno tapi manjur? Ya, menikahi orang kaya!

Lalu, muncul sebuah premis menarik. Cara cepat kaya adalah “berjualan cara cepat kaya” itu sendiri. Menarik, bukan?!
Jika kamu memperhatikan konten dengan topik bisnis oleh para KOL (Key Opinion Leader), mereka mempunyai satu kesamaan, jualan produk!
Produk apa yang mereka jual? Cara menjadi sukses.
Produk ini biasanya digital, dalam bentuk e-book, file, video, atau buka kelas kursus. Harganya puluhan sampai ratusan ribu, untuk kusus bisa sampai jutaan.
Itulah yang menjadikan mereka tambah kaya (dengan cepat). Kenapa fenomena ini bisa terjadi?
Filosofi The Wolf of Wall Street

Mengapa bayak orang tergiur dengan kesuksesan yang didapat secara instan padahal belum tentu terbukti?
Fenomena ini digambarkan dengan baik dalam film The Wolf of Wall Street, Jordan Belfort, yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio, membangun perusahaan pialang dengan cara memanipulasi harga saham.
Saham gorengan itu kemudian dijualnya ke para investor yang sama sekali nggak tahu apa yang mereka beli.
Mayoritas investornya adalah orang kelas menengah ke bawah, yang ada di pikiran mereka hanya cari keuntungan dengan cepat.
Orang-orang ini tidak peduli apa yang mereka beli, mereka hanya ingin tau apakah pembelian itu akan membuat mereka kaya atau tidak. Belfort paham betul mengenai psikologi manusia terhadap keserakahan.
Jordan Belfort tidak pernah benar-benar menjelaskan saham apa yang dia jual, dia lebih fokus ke “jika kamu membelinya, maka kamu akan mendapatkan keuntungan besar“. Ya, dia fokus ke sisi emosional manusia yang menginginkan sesuatu yang besar dengan usaha yang kecil.
Pria itu tidak menjual produk, dia menjual mimpi!
Belfort tahu banget kalau semua orang mau cepat kaya, tanpa peduli konsekuensinya. Dan itulah yang dia tawarkan.
Keinginan untuk cepat kaya ini sering mengalahkan pemikiran rasional yang lebih menghitung risiko jangka panjang.
Faktor fear of missing out (FOMO) juga berperan dalam fenomena semacam ini. Jordan tahu betul bagaimana memanfaatkan perasaan ini. Dia meyakinkan investor kalau nggak segera bertindak, mereka bakal kehilangan kesempatan besar.
Emosional vs Rasional
Kenapa manusia lebih mudah dipengaruhi lewat emosi dibanding pemikiran logis yang rasional?
Manusia ternyata memang lebih mudah dipengaruhi lewat emosi, apalagi kalau ada peluang untuk mendapat keuntungan besar dengan cepat.
Jika sudah menyentuh aspek emosi, jangankan kerugian, keuntungan pun kadang tidak dipikirkan.
Misalnya dalam kasus Agus Salim AKA Agus Buta, cerita yang dia bawa menyentuh simpati netizen sampai mereka rela mengumpulkan donasi miliaran rupiah untuknya.
Setelah tau bagaimana sifat Agus, netizen marah besar dan tidak rela uangnya dipakai. Kemarahan ini terjadi setelah ada informasi yang baru terungkap mengenai sifat dan kelakuan Agus.
Padahal seharusnya informasi tersebut digali untuk menentukan keputusan kita, antara donasi atau tidak, bukan setelahnya.

Kasus yang sama juga pernah terjadi untuk kasus pembulian siswi SMP bernama Audrey. Semua orang menggunakan tagar #justiceforaudrey demi menyuarakan dukungan.
Padahal cerita pembulian itu dibuat-buat dan netizen mencari tau profil Audrey lalu menemukan postingannya yang sering menggunakan kata kasar dan hinaan.
“Kayaknya mereka emang pantes digituan deh” mungkin itu yang di pikiran netizen saat tau sifat Agus dan Audrey.
Simpati berlebihan apalagi tidak berdasaar hanya akan membawa kita ke permasalahan yang lebih besar.
Seharusnya kita menggunakan pikiran rasional demi mengambil keputusan. Untuk dua kasus itu, kita bisa pakai quote berikut ini:
“Tidak ada pelaku yang penuh dengan dosa dan tidak ada korban yang benar-benar suci”
Oleh sebab itu sisakan ruang dalam persepsi kita untuk “salah” dalam menilai seseorang. Kembali lagi ke topik utama, kekayaan dan keserakahan …
Mengapa banyak orang berani mengambil resiko besar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya?
The Broken Ladder
Keith Payne dalam bukunya “The Broken Ladder” ngungkapin kalau ketimpangan sosial itu mempengaruhi cara berpikir kita.
Bayangkan kalau kelas sosial ini seperti anak tangga, orang miskin berada di bagian bawah dan si kaya ada di atas. Keduanya bisa saling melihat posisi masing-masing.
“Kemiskinan bukan hal yang paling mempengaruhi kita, tapi perasaan lebih miskin dibandingkan orang lain, itulah yang mengubah perilaku kita.”
Seharusnya orang yang posisi ekonominya kurang baik maka ia harus mempertimbangkan banyak hal dalam mengambil keputusan apalagi kalau berhubungan dengan uang.
Ternyata, menurut Payne, orang-orang yang ada di strata sosial lebih rendah justru lebih berani mengambil risiko daripada mereka yang ada di lapisan atas. Apa artinya?
Karena ada rasa ketertinggalan yang kuat antara si miskin dan si kaya, maka si miskin ingin menggapai posisi si kaya dengan cepat. Tak peduli resikonya gimana yang penting bisa melewati beberapa anak tangga hingga ke level si kaya.
Fenomena seperti ini menjelaskan kenapa banyak pemain judi online yang berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yakni 80%.
Terlepas dari judi online itu pengaturan yang pasti pemainnya kalah, tapi judol membawa secercah harapan yang masuk akal untuk menjadi kaya dengan cepat.
Hanya dengan uang puluhan ribu bisa menang ratusan juta, sangat menggiurkan, bukan?!
Sama seperti kasus The Wolf of Wall Street, judi menjual harapan kepada pasar yang relevan. Siapa lagi kalau bukan orang miskin yang ingin cepat kaya.
Hasilnya? Jangankan bikin kaya, yang ada malah rungkad! Rumah dijual, anak gak bisa sekolah, istri minta cerai.
Sesuai data BPS, salah satu alasan perceraian tertinggi adalah suami kecanduan judi online.
Jadi, janji-janji kaya instan itu memang menggiurkan, tapi kenyataannya? Keberhasilan yang sesungguhnya butuh waktu, kerja keras, dan kesabaran.
Jangan menjadi orang bodoh yang mempercayai omongan orang begitu saja, sekalipun yang ngomong adalah idolamu.
Kebahagiaan Sederhana vs Kebahagiaan Besar
Seorang pengusaha sukses dari Jakarta tengah menikmati masa pensiun di sebuah desa kecil di ujung Pulau Sumbawa.
Di sore, ia duduk di dermaga menikmati pemandangan, ketika sebuah perahu kecil mendekat, dikayuh oleh seorang nelayan. Perahu tersebut penuh dengan ikan tuna sirip kuning yang besar.
Melihat kualitas ikan tersebut, pengusaha itu memberi pujian, “Ikan-ikan ini luar biasa. Berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk menangkapnya?”
Nelayan itu tersenyum dan menjawab dengan santai, “Hanya sebentar saja.”
Pengusaha itu merasa penasaran dan bertanya lebih lanjut, “Mengapa kamu tidak menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangkap lebih banyak ikan?”
Nelayan itu menjawab dengan tenang, “Saya sudah cukup menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya.”
Sang pengusaha, yang merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, bertanya lagi, “Lalu, apa yang kamu lakukan dengan sisa waktumu seharian?”
Nelayan itu menjawab, “Saya tidur larut, memancing sebentar, bermain dengan anak saya, tidur siang bersama istri, dan setiap sore saya berjalan-jalan ke desa untuk minum kopi sambil bermain gitar dengan teman-teman. Rasanya, hidupku sudah cukup sibuk.”
Pengusaha itu kemudian tersenyum dan berkata, “Saya seorang pengusaha sukses, dan saya rasa saya bisa membantu kamu. Sebaiknya kamu habiskan lebih banyak waktu untuk memancing. Dengan hasil yang lebih banyak, kamu bisa membeli perahu yang lebih besar. Setelah itu, kamu bisa membeli beberapa perahu lagi, bahkan memiliki armada nelayan. Kamu bisa langsung menjual hasil tangkapanmu ke pengolah, bukan tengkulak. Lama-kelamaan, kamu bisa membuka pabrik kalengan sendiri dan mengendalikan proses produksi serta distribusi. Untuk itu, kamu perlu meninggalkan desa ini, pindah ke kota besar seperti Jakarta, kemudian ke Surabaya, dan akhirnya ke Bali, tempat di mana bisnismu akan berkembang pesat.”
Nelayan itu mendengarkan dengan seksama, lalu bertanya, “Berapa lama semua ini akan memakan waktu?”
Pengusaha itu berpikir sejenak dan menjawab, “Sekitar 15 hingga 20 tahun.”
Nelayan itu merenung sejenak, lalu bertanya, “Setelah itu bagaimana?”
Dengan penuh keyakinan, pengusaha itu menjawab, “Setelah itu, kamu bisa melakukan IPO, menjual saham perusahaanmu kepada publik dan menjadi sangat kaya. Kamu akan menghasilkan miliaran!”
Nelayan itu terlihat sedikit bingung dan melanjutkan, “Miliaran… lalu apa yang akan terjadi setelahnya?”
Pengusaha tua itu dengan percaya diri berkata, “Setelah itu, kamu bisa pensiun, tinggal di tempat yang nyaman bersama keluarga, bermain dengan anak-anak, atau berlibur ke tempat indah sambil menikmati masa tuamu.”
Nelayan itu terdiam sejenak, kemudian dengan senyum ia berkata, “Tapi saya sudah melakukan semua itu sekarang.”
Mungkin kamu setuju dengan si nelayan tapi untuk beberapa hal kita perlu bersikap seperti pebisnis. Anak yang kita lahirkan perlu kepastian dengan masa depannya, sebagai orang tua harus menjamin anaknya tidak kesulitan saat dewasa.
Dalam arti, menyiapkan dana untuk pendidikan dan kesehatan atau relasi kerja untuk sang anak.
Kedua tokoh memiliki pandangan hidup yang berbeda, namun keduanya juga memiliki kebenaran mereka masing-masing.
Sang pengusaha menggambarkan sosok yang penuh ambisi, berusaha membangun segalanya untuk mencapai kebahagiaan melalui kekayaan, meskipun akhirnya ia akan kembali pada hidup yang sederhana seperti yang dijalani nelayan saat ini.
Sementara itu, nelayan memilih untuk hidup sederhana dan bahagia dengan apa yang ia miliki, tanpa ambisi untuk menambah kekayaan, meskipun ia tetap mempertimbangkan masa depan keluarganya.
Pada akhirnya, semua itu tergantung pada bagaimana kita memandang hidup. Bagaimana kita memilih untuk mengukur kebahagiaan—apakah lewat ambisi yang tak ada habisnya atau dengan menikmati hal-hal kecil yang kita miliki sekarang.
Intinya, semua itu kembali pada satu hal. Lagi-lagi apa? Yak betul, mindset.
Coba kita bayangkan sebuah dunia di mana semua orang bisa cepat kaya hanya dengan mengikuti tips di Instagram, ikut seminar sehari, atau membeli produk “rahasia” dari orang yang secara kebetulan terlihat lebih kaya dari kita.
Jika semua orang mulai berpikir seperti itu: saya, anda, mereka semua kaya dalam semalam!
Tak perlu lagi memikirkan nilai sebuah kerja keras, keahlian, atau pengalaman. Kenapa? Karena rahasianya sudah terungkap!
Semua yang perlu kita lakukan adalah beli produk “Cara Cepat Kaya”, hunting ke seminar motivasi, dan voila! Di hari berikutnya, kita langsung bisa menikmati rumah mewah, mobil sport, dan sahabat yang selalu tersenyum.
Jadi, selamat menikmati perjalanan singkat menuju kekayaan instan—karena siapa yang butuh usaha nyata, kalau kita semua bisa jadi kaya tanpa harus bekerja?