Tidak ada pasangan yang menikah dengan niat berpisah. Semua orang tentu ingin rumah tangganya langgeng, penuh kasih, dan menjadi jalan menuju ketenangan hidup. Namun, realitasnya tidak selalu seindah itu.

Dalam perjalanan rumah tangga, ada masa ketika pertengkaran terasa tak berujung, rasa saling menghargai mulai pudar, dan kehangatan yang dulu ada berubah menjadi rutinitas yang dingin.

Islam tidak menutup mata terhadap kenyataan tersebut. Bahkan, agama ini memandang pernikahan sebagai sebuah tanggung jawab yang sakral. Karena itu, Islam juga memberi ruang untuk mengakhiri rumah tangga, bukan sebagai bentuk kebencian terhadap pernikahan, melainkan sebagai jalan keluar terakhir ketika semua cara baik telah ditempuh.

Saat ini kasus perceraian di Indonesia kian naik dari tahun ke tahun. Menurut data BPS, 3 provinsi dengan kasus perceraian tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ketika Rumah Tangga Tak Lagi Menjadi Sakinah

Illustrasi patah hati (unsplash.com/Elle Cartier)
Illustrasi patah hati (unsplash.com/Elle Cartier)

Tujuan pernikahan dalam Islam jelas: untuk mencapai sakinah, mawaddah, wa rahmah—ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Namun, bagaimana jika semua itu hilang?
Ada kondisi tertentu di mana mempertahankan pernikahan justru lebih menyakitkan daripada mengakhirinya.

Beberapa ulama menjelaskan, perceraian boleh dilakukan ketika rumah tangga sudah tidak bisa lagi membawa kebaikan bagi kedua pihak. Misalnya, ketika terjadi kekerasan, pengkhianatan, atau tidak ada lagi niat untuk memperbaiki hubungan. Dalam Al-Qur’an, Allah memberi ruang atas hal ini:

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.”
(QS. An-Nisa: 130)

Ayat ini menjadi penegasan bahwa perceraian bukan akhir dari segalanya. Kadang, justru menjadi awal dari kehidupan yang lebih baik, asalkan dilakukan dengan cara yang benar.

Talak: Jalan Terakhir, Jangan Menyesal

Dalam hukum Islam, perceraian dikenal dengan istilah talak. Namun, penting dipahami bahwa talak bukan hal yang ringan. Rasulullah SAW bersabda:

“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
(HR. Abu Dawud)

Artinya, Islam memperbolehkan talak, tapi sangat tidak menganjurkannya. Talak seharusnya menjadi jalan terakhir setelah semua usaha memperbaiki hubungan seperti musyawarah, mediasi keluarga, hingga bantuan dari pihak ketiga tidak lagi membuahkan hasil.

Karena itu, pasangan suami istri perlu berhati-hati sebelum mengucapkan atau menuntut talak. Talak bukan sekadar kata-kata yang diucapkan saat emosi, melainkan keputusan hukum dan spiritual yang berdampak besar, terutama bagi istri dan anak.

Perceraian dalam Perspektif Islam dan Hukum Negara

Islam dan hukum negara sebenarnya sejalan dalam hal ini. Keduanya mengakui perceraian, tapi dengan syarat dan prosedur tertentu. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama, bukan sembarangan diucapkan di rumah atau lewat pesan singkat.

Langkah ini penting karena memastikan kedua pihak mendapatkan haknya, baik nafkah, hak asuh anak, maupun pembagian harta bersama. Islam sangat menekankan keadilan dalam setiap keputusan. Karena itu, meski perceraian diperbolehkan, prosesnya harus menjaga martabat dan tidak menzalimi salah satu pihak.

Ketika Bertahan Justru Menyakiti

Tidak sedikit orang yang memilih bertahan dalam hubungan yang sudah rusak hanya karena takut dicap gagal. Namun, Islam tidak menuntut seseorang untuk bertahan dalam penderitaan.

Jika pernikahan justru menimbulkan mudharat lebih besar seperti kekerasan fisik, pelecehan, atau hilangnya tanggung jawab, maka berpisah bisa menjadi langkah yang lebih diridai Allah.

Imam Al-Ghazali bahkan menulis bahwa perceraian bisa menjadi kewajiban moral ketika salah satu pihak tidak lagi bisa menjaga hak-hak pasangannya. Dalam konteks ini, mengakhiri rumah tangga bukan dosa, melainkan bentuk perlindungan terhadap diri dan kehormatan.

Tanda-Tanda Rumah Tangga yang Sebaiknya Diakhiri

Ilustrasi ibu dan anak (unsplash.com/Paul Hanaoka)
Ilustrasi ibu dan anak (unsplash.com/Paul Hanaoka)

Tidak semua perbedaan berarti akhir dari hubungan. Dalam setiap rumah tangga pasti ada fase sulit, dan Islam mendorong pasangan untuk terus berupaya memperbaiki keadaan. Namun, ada situasi tertentu di mana tanda-tandanya cukup jelas: pernikahan itu tak lagi membawa kebaikan bagi siapa pun yang terlibat.

Beberapa tanda yang sering dianggap sebagai “lampu merah” dalam pandangan Islam antara lain:

#1 Hilangnya niat untuk memperbaiki diri dan hubungan.

Ketika salah satu pihak sudah tidak mau lagi berusaha, enggan berkomunikasi, dan menutup pintu dialog, hubungan akan berhenti di titik yang sama. Dalam kondisi ini, pernikahan hanya menjadi formalitas, tanpa makna sakinah yang dulu diimpikan.

#2 Terjadi kekerasan, baik fisik maupun psikis.

Islam sama sekali tidak mentoleransi kekerasan dalam rumah tangga. Rasulullah SAW bahkan mencontohkan kasih sayang dan kelembutan terhadap istrinya. Bila kekerasan terus berulang tanpa penyesalan dan perubahan, maka perceraian bisa menjadi jalan perlindungan, bukan pembangkangan.

#3 Pengkhianatan yang berulang tanpa tobat.

Ketidaksetiaan adalah bentuk pelanggaran terhadap amanah pernikahan. Jika pengkhianatan itu terus terjadi dan pihak yang bersalah enggan memperbaiki diri, mempertahankan rumah tangga hanya akan menambah luka.

#4 Tidak ada lagi tanggung jawab.

Baik suami maupun istri punya kewajiban masing-masing: memberi nafkah, menjaga kehormatan, dan mendidik anak. Bila tanggung jawab itu diabaikan, terutama jika disertai dengan pengabaian spiritual, maka rumah tangga kehilangan ruhnya.

Dalam semua kondisi itu, perceraian bukan langkah tergesa, melainkan keputusan yang harus dilalui dengan doa, pertimbangan, dan niat baik. Islam mengajarkan agar setiap langkah menuju perpisahan tetap dijalani dengan ihsan yakni cara terbaik dan paling manusiawi.

Cara Berpisah yang Baik Menurut Islam

Ilustrasi seorang pria sedih dan depresi (unsplash.com/Kato Blackmore 🇺🇦)
Ilustrasi seorang pria sedih dan depresi (unsplash.com/Kato Blackmore 🇺🇦)

Islam mengatur perceraian bukan untuk memperumit, tetapi untuk menjaga agar prosesnya tetap bermartabat. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 229–231, Allah menegaskan agar suami memperlakukan istri dengan baik, baik ketika masih bersama maupun ketika berpisah.

Ada beberapa prinsip penting yang perlu dijaga:

#1 Bercerai dengan niat baik, bukan emosi

Banyak perceraian terjadi di puncak emosi, padahal keputusan sebesar itu seharusnya lahir dari ketenangan. Islam menekankan agar talak diucapkan dalam kondisi sadar, bukan saat marah.

#2 Memberi hak pasangan secara adil

Istri berhak atas nafkah selama masa iddah, dan jika ada anak, hak asuh serta biaya hidup mereka harus disepakati dengan adil. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah: 237)

#3 Menghindari saling menjelekkan

Setelah bercerai, hubungan memang berakhir secara hukum, tetapi martabat dan nama baik tetap harus dijaga. Menyebarkan aib mantan pasangan hanya menambah dosa dan menyakiti banyak pihak, terutama anak.

#4 Melibatkan pihak keluarga atau mediator

Jika perceraian belum final, keluarga dari kedua belah pihak bisa membantu menjadi penengah, sebagaimana diajarkan dalam QS. An-Nisa ayat 35. Terkadang, mediasi yang jujur dan terbuka masih bisa menyelamatkan hubungan.

Hikmah di Balik Perceraian

Tidak ada yang mudah dalam mengakhiri pernikahan. Namun, ketika dilakukan dengan cara yang benar, perceraian bisa menjadi jalan menuju kebaikan.

Sebagian orang justru menemukan kembali kedamaian setelah berpisah. Mereka belajar tentang arti sabar, tentang batas-batas kesetiaan, dan tentang bagaimana menghargai diri sendiri. Dalam konteks inilah, Islam ingin mengingatkan bahwa hidup tidak berhenti di satu bab.

Allah berfirman:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini sering menjadi pengingat bahwa setiap perpisahan, betapapun menyakitkan, bisa membawa hikmah yang tak terduga.

Ketika Cinta Harus Berhenti, Kebaikan Jangan Ikut Mati

Mengakhiri rumah tangga bukan keputusan yang ringan, tapi kadang justru itulah jalan terbaik. Islam mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang bertahan, melainkan juga tentang tahu kapan harus melepaskan dengan ikhlas.

Perceraian yang dilakukan dengan niat baik tetap bisa menjadi ladang pahala. Selama dijalani dengan kejujuran, keadilan, dan tanpa saling menyakiti, Allah menjanjikan jalan keluar dan rezeki yang lebih luas.

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)

Jadi, jika rumah tangga sudah tidak lagi menghadirkan ketenangan, bukan berarti hidup berakhir. Bisa jadi, itu adalah awal dari perjalanan baru yang lebih dekat kepada kebaikan, kepada kedewasaan, dan tentu saja kepada Allah.

Ilustrasi Hukum Undang-Undang (Own Talk)
Ilustrasi Hukum Undang-Undang (Own Talk)

Kenyataannya, tidak semua rumah tangga bisa bertahan hingga akhir hayat. Ada kalanya perpisahan menjadi jalan terakhir yang paling bijak ketika berbagai upaya damai sudah dilakukan.

Namun, proses perceraian bukanlah perkara yang bisa dianggap sepele. Selain menyangkut emosi dan hubungan antarpihak, perceraian juga membawa konsekuensi hukum yang perlu diurus secara tepat agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Di sinilah pentingnya mendapatkan pendampingan dari pihak yang benar-benar memahami proses hukum perceraian. YND Law Firm hadir untuk membantu anda menjalani proses tersebut secara legal, tertib, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan tim advokat berpengalaman dalam menangani kasus perceraian, baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, YND Law Firm memberikan layanan yang tidak hanya profesional, tetapi juga mengedepankan empati dan kerahasiaan klien.

Author

SEO Specialist - Started learning SEO in 2018 and delved deeper into it in 2020. Currently, I'm a full-time blogger, building and developing several personal websites.

Write A Comment