Proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, tak jarang menjadi sorotan karena sering molor, mangkrak, bahkan menjadi sumber korupsi.

Dari perencanaan yang tak matang hingga pelaksana yang berbenturan kepentingan, celah kesalahan terbilang lebar.

Pertanyaannya: mengapa hal ini terus terjadi, dan bagaimana solusinya?

Liga Korupsi Indonesia
Liga Korupsi Indonesia

1. Perencanaan Ngawur: Awal dari Molornya Proyek

Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sekitar 564 kasus korupsi infrastruktur antara 2015–2018 menelan kerugian negara mencapai Rp 3,31 triliun (USD 230 juta). Salah satu penyebab utama adalah perencanaan yang buruk, terutama pada tahap tender:

Informasi tender tidak terbuka, menghambat kompetisi sehat

10 % tender baru dimulai di akhir tahun fiskal, menunjukkan terburu-buru dalam penggunaan anggaran

Banyak proyek besar seperti Jalan Trans-Jawa (Rp 51,6 triliun) mengalami hambatan karena belum rampungnya pembebasan lahan

Ketika perencanaan tidak matang, eksekusi menjadi terombang-ambing — yang berdampak pada biaya membengkak dan timeline yang molor.

2. Korupsi yang Mendarah Daging

Tidak sekadar tertunda, pemerintah juga acap kali menyematkan label “lapisan korupsi” pada tiap proyek. Data ICW menunjukkan:

  • Peningkatan 50 % kasus korupsi sektor infrastruktur selama 2015–2018
  • Praktik suap, fiktifitas tender, nepotisme, serta mark-up pemasukan rutin terjadi

Era pembangunan dari pemerintah pusat sering diikuti permainan keuntungan oleh pejabat daerah. Dari kasus e-KTP (Rp 2,3 triliun) hingga Waskita Karya (kerugian Rp 2,5 triliun karena mark-up), pola ini sistematis.

3. Tumbuhnya Korupsi di Setiap Level Proyek

Proyek-proyek National Strategic Projects (NSP) masuk negeri ancaman korupsi karena:

  • Skema percepatan tender membuka peluang korupsi
  • Land acquisition sering memicu konflik agraria dan mark-up biaya.
  • Skema PPP tanpa oversight memunculkan favoritisme dan dana melayang

Status seperti “ada proyek berarti ada korupsi” sebagai hasil kombinasi peluang, budaya, dan lemahnya pengawasan.

4. PPP & Leasing: Paradoxic Trust Model

Meminjam analisa Ernst & Young, pemerintah dianjurkan memperkuat kemitraan pintar seperti PPP, leverage ESG dan land value capture, demi transparansi dan keberlanjutan proyek.

Namun kenyataannya:

  • Bursa lelang terbuka belum berjalan benar
  • BUMN sering mengambil alih proyek tanpa tender publik
  • Skema konvensional masih menjadi mayoritas, mengabaikan prinsip good governance

Akibatnya: proyek tetap boros, masyarakat tidak tahu aliran dana, dan korupsi tetap merajalela.

5. Overrun Cost & Lock-in

Penelitian internasional (seperti Flyvbjerg dkk) menyebut lock-in sebagai akar pembengkakan biaya: keputusan sudah “terlanjur”, sehingga perubahan yang lebih efektif pun tertolak.

Di Indonesia, fenomena serupa ditemukan setiap proyek besar yang tidak bisa revisi, padahal banyak variabel berubah: lahan, harga material, hingga UU lingkungan.

Studi Kasus: Bandara Kertajati

Gambar Bandara Kertajati - Majalengka
Gambar Bandara Kertajati – Majalengka

Ini hanya salah satu contoh dari ribuan proyek ngawur dari pemerintah. Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dibangun dengan biaya lebih dari Rp 2,6 triliun.

Proyek ini dicanangkan sebagai salah satu bandara terbesar di Indonesia, dengan harapan mengurangi beban Bandara Soekarno-Hatta dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat.

Segala macam keburukan ada di dalam proyek ini, misalnya:

Lokasi yang Tidak Strategis

Bandara ini dibangun di Majalengka yang jauh dari pusat aktivitas masyarakat Jawa Barat, terutama Bandung.

Waktu tempuh dari Bandung ke Kertajati bisa mencapai 3–4 jam perjalanan darat, melewati tol yang sempat belum rampung ketika bandara diresmikan.

Kebijakan Asal-asalan

Pemerintah sempat memaksa pemindahan seluruh penerbangan domestik dari Bandara Husein Sastranegara (Bandung) ke Kertajati. Ini menuai protes keras dari masyarakat dan pelaku industri. Banyak maskapai justru mengalami kerugian dan rute mereka menjadi tidak efisien. Penumpang pun enggan repot ke Kertajati.

Solusi Terlambat dan Tambal Sulam

Setelah bertahun-tahun dikritik, baru pada 2023 tol Cisumdawu selesai, dan Kertajati mulai “berfungsi” kembali secara perlahan—itu pun hanya karena Bandara Husein dialihkan fokusnya. Bisa dikatakan, bandara senilai triliunan ini terlambat beroperasi secara optimal selama lebih dari 5 tahun.

Alih-alih menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bandara ini justru mencerminkan betapa “kegoblokan birokrasi” bisa menghambur-hamburkan anggaran negara, dengan sedikit atau bahkan tanpa pertanggungjawaban serius.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah Dalam Proyek Pembangunan?

Kereta Cepat Jakarta - Bandung
Kereta Cepat Jakarta – Bandung

Pemerintah semestinya memulai dari akar masalah: perencanaan proyek harus berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar pencitraan atau target serapan anggaran. Proyek harus melibatkan kajian kelayakan yang serius dan terbuka, termasuk mendengar masukan dari ahli independen dan masyarakat setempat.

Selain itu, pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara transparan dan bebas intervensi politik. Sistem e-procurement memang sudah diterapkan, namun masih perlu diperkuat agar tidak menjadi formalitas belaka.

Integritas lembaga pengawas juga harus dijaga—pengawasan yang tajam dan independen adalah kunci utama agar setiap rupiah uang negara benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.

Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pelaporan dan pengaduan masyarakat, termasuk memberikan perlindungan terhadap whistleblower agar orang yang membongkar praktik kotor tidak justru dikorbankan.

Terakhir, penegakan hukum harus adil dan konsisten. Jangan hanya menindak proyek kecil atau kepala dinas tingkat bawah, tapi juga menyasar pemain besar yang berada di lingkar kekuasaan pusat.

Peran Sektor Swasta (termasuk Alat Berat)

Pemerintah bukan satu-satunya aktornya. Sektor swasta, termasuk produsen alat berat, memiliki peran penting dalam mendorong kultur efisiensi dan kredibilitas:

Vendor besar seperti doosanequipment.com menawarkan teknologi unggul—telemetry dan sistem kendali canggih—untuk menjadikan alat berat lebih andal dan transparan di lapangan.

Dengan alat berkualitas dan sistem monitoring, sektor swasta dapat menjadi katalis perubahan dalam integritas operasional.


Proyek molor dan korupsi di Indonesia karena sistem perencanaan amburadul, tender sembunyi-sembunyi, budgeting terburu-buru, hingga pemborosan saat masanya eksekusi.

Untuk mengubah hal tersebut:

  • Pemerintah perlu reformasi sistem tender, evaluasi publik, dan digitalisasi penuh
  • Sektor swasta harus mengisi peran lewat alat dan teknologi berkualitas
  • Publik tidak boleh diam—perlu ikut mengawasi, melaporkan, dan mendukung transparansi

Tanpa itu, proyek besar apapun—dari pembangunan jalan hingga ibu kota baru—akan terus membawa beban: biaya membengkak, kepercayaan menurun, dan hasil infrastruktur yang jauh dari harapan.

Author

SEO Specialist - Started learning SEO in 2018 and delved deeper into it in 2020. Currently, I'm a full-time blogger, building and developing several personal websites.

Write A Comment