Lahir di tanah Jawa memang membuat kita tau banyak hal bahkan “terkontaminasi” dengan budaya, mitos, forklor yang sebenarnya tidak perlu. Apakah tahlilan atau yasinan itu hanya foklor saja? Tentu tidak!

Bagi orang jawa bagian perkampungan, pasti sudah sangat akrab dengan kegiatan itu tahlilan, syukuran, yasinan, saya pun demikian. Tahlilan dengan nomor ganjil ini seakan menjadi barang wajib yang harus ada di peristiwa meninggalnya seseorang.

Pertama kita samakan persepsi dulu soal tahlilan ini, siapa tau ada yang belum paham.

Tahlilan itu apa?

Tahlilan adalah sebuah tradisi keagamaan yang umum dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, terutama oleh komunitas Nahdlatul Ulama (NU). Tahlilan merupakan upacara doa bersama yang dilakukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pada hari-hari tertentu setelah kematian, seperti pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan seterusnya hingga 1000 hari setelah kematian.

Tahlilan itu ngapain?

Dalam tahlilan, biasanya dibacakan berbagai ayat-ayat Al-Qur’an, dzikir, tahlil (ucapan “Laa ilaha illallah“), shalawat, serta doa-doa lainnya yang dimaksudkan untuk memohon ampunan dan rahmat Allah bagi arwah orang yang telah meninggal. Acara ini biasanya diakhiri dengan makan bersama sebagai bentuk sedekah.

Prosesi Meninggalnya Seseorang

Judul di atas kurang lengkap sih, harusnya “Prosesi meninggalnya seseorang beragama Islam di Tanah Jawa (khususnya perkampungan)“. Nah, begitu lebih spesifik dan tepat sasaran!

Misalnya Pak Samsul meninggal (Samsul adalah nama kucing saya), maka ia akan dimandikan di rumah duka dengan banyak orang yang ta’ziyah di sana.

Dalam hadis dari sahabat Amr ibn Hazm, Nabi bersabda: “Orang mukmin yang melawat (melayat) saudaranya (sesama muslim) yang menderita musibah, niscaya Allah akan memakai pakaian perhiasan kemuliaan kepadanya pada hari kiamat kelak”. (HR Ibnu Majah dan alBaihaqy).

Usai dimandikan, jenazah dibawa ke masjid untuk disholatkan, setelahnya dikuburkan. Kalau jarak dari rumah ke kuburan dekat, kerandanya bisa diangkat manual ber-enam orang. Kalau jauh ya naik mobil pick-up saja.

Setelah itu akan diadakan tahlilan di rumah duka. Tahlilan dalam bahasa Arab berasal dari kata “tahlil” yang artinya membaca kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).

Dalam konteks agama Islam dan prosesi pemakaman, tahlilan merujuk pada suatu kegiatan atau acara di mana kalimat tahlil ini dibaca bersama dengan ayat-ayat Al-Quran, doa, dan zikir lainnya.

Dengan membaca kalimat tahlil dan doa, diharapkan pahala bacaan tersebut dapat dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.

Kritikan Ta’ziyah

Ta'ziyah
Ilustrasi Ta’ziyah

Ta’ziyah sejatinya adalah membantu menguatkan, menopang, mengangkat derajat dari keluarga yang telah ditinggalkan. Apa maksudnya?

Lihat keluarganya, datang ke rumahnya, lihat dapurnya, lihat apakah dia membutuhkan sesuatu (bantuan). “Jadi sunnah pertama ketika anda datang ke tempat orang meninggal, ta’ziyah yang dimaksud bukan melayat tapi anda angkat kembali moral yang sedang turun itu… “jangan bersedih saudariku, kamu merasa kehilangan tapi siapkan amalan insyaallah bertemu kembali. Seakan-akan rasa hilang satu, kami datang seribu orang menjadi keluargamu”. Itu ta’ziyah, angkat supaya (derajat) mereka tidak turun. Kesabarannya terangkat, motivasinya terangkat, bantu dia, tutupi kebutuhannya. Itu sunnah dan itu yang disebut ta’ziyah.” Begitulah kata, Ustad Adi Hidayat dalam ceramahnya. 

Ajaran Islam jika dipahami dengan benar maka itu sangat membantu kehidupan kita, sayangnya banyak sekali yang hanya ikut-ikutan dan mereka menjadi umat mayoritas.

Banyak lho warga yang datang melayat tanpa tahu mereka itu ngapain, tujuannya apa.

“Orang tua ku, tetangga ku juga begini dari dulu (ta’ziyah). Jadi tinggal melanjutkan tradisi”, kira-kira seperti itu alasannya.

Bahkan yang miskin (lebih miskin dari rumah duka) rela menghutang untuk membeli beras, gula, teh dan sebagainya demi bisa hadir di acara itu.

Maksudku, bantulah apa yang bisa kita bantu, sesuai kemampuan. Hanya berkirim doa saja tak jadi masalah, itupun sudah membantu bagi yang meninggal.

Shalat yang wajib saja sering ditinggal tapi pas ada yang meninggal malah wajib datang dengan syarat-syarat ketentuan pula.

Kritik Tahlilan

Ilustrasi Tahlilan
Ilustrasi Tahlilan

Tahlilan bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal agar mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah serta memohonkan ampunan atas dosa-dosanya. Selain itu, tahlilan juga berfungsi sebagai sarana mempererat silaturahmi dan solidaritas sosial di antara keluarga dan masyarakat.

“Di saat ada kerabat, sanak, keluarga, orang tua, maka kita dianjurkan untuk berbakti dengan cara berdoa sebanyak-banyak,” kata Buya Yahya.

“Kemudian yang kedua, jika kita punya rezeki, kita sedekahkan untuk orang tua,” lanjutnya.

Tidak perlu ada patokan harus selama seminggu atau di hari ke sekian setelah meninggal. Ingat, mewakili sedekah orang yang meninggal ini bukan hutang jatuh tempo, tidak ada patokannya. Lakukan semau dan semampunya saja, jangan sampai berhutang!

Sejarah Tahlilan

Dalam sejarahnya, tahlilan di tanah jawa bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan apalagi harus 7 hari sampai 1000 hari.

Sejak kapan sih yasinan ini ada? Acara tahlilan ini berawal dari budaya orang zaman dahulu sebelum datangnya islam, saat itu jika ada orang yang meninggal akan diadakan acara lek-lek’an (bahasa jawa) artinya begadang selama 7 hari untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Tujuannya sama seperti ta’ziyah dimana keluarga dikuatkan dengan hadirnya saudara dan masyarakat sekitar, mereka tidak merasa sendirian.

Sebelum Islam masuk, masyarakat Nusantara, termasuk Jawa, menganut agama Hindu dan Buddha. Upacara-upacara kematian yang melibatkan doa dan persembahan kepada roh nenek moyang sudah menjadi tradisi.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, para wali songo sebagai penyebar Islam tidak serta merta menghapuskan seluruh tradisi lokal. Mereka lebih memilih untuk mengakulturasikan ajaran Islam dengan budaya yang sudah ada.

Proses akulturasi ini melahirkan tradisi tahlilan. Inti dari ajaran Islam tentang kematian dan doa untuk orang yang telah meninggal disandingkan dengan tradisi lokal berupa upacara peringatan kematian.

Kenapa dari dulu tidak dihilangkan saja tradisi seperti itu, kok malah dicampur antara budaya dan agama?

Waktu itu jika semua tradisi yang tidak sesuai dengan islam dilarang maka islam tidak akan diminati olah masyarakat. Cara agar orang mau masuk islam adalah dengan memberinya sedikit kelonggaran, bertahap, perlahan-lahan.

Sama seperti Al-Quran, dia tidak turun sekaligus tapi bertahap menyesuaikan kemampuan dari manusia itu sendiri.

Tahlilan Menjadi Merepotkan

Tahlilan yang seharusnya menjadi sarana antara amal dan doa menjadi lebih transaksional. Bahkan disebut-sebut lebih mirip pesta daripada beramal dalam kebaikan.

Semakin “meriah” acaranya, semakin banyak yang datang. Ya, disini sangat jelas transaksi itu berlangsung, antara keluarga yang memberi makanan (sedekah) dan masyarakat sekitar yang mendoakan.

Padahal untuk satu malam tahlilan dibutuhkan dana yang besar, kebetulan untuk kasus saya adalah 2,7 jt per malam. Sangat mahal mengingat umr daerah sini saja hanya 2,1 jt per bulan.

Sangat merepotkan apalagi bagi untuk orang yang membayarnya, pusing mikirin uangnya darimana.

Uang segitu emang dibelikan apa saja?

  • Makanan berat (berkat) yang isinya ayam, dan lauk lain.
  • Minuman (teh anget)
  • Camilan, kue, roti, dan sebagainya
  • Rokok
  • Semua itu untuk 40-80 orang

Kalau kurang mampu kan suguhannya bisa biasa saja. Iya tentu saja tapi efek sampingnya adalah acara yasinan ini bakal sepi dan tak sampai di situ, keluarga almarhum dituduh pelit oleh para tetangga! Konyol!

Padahal tak ada syariat islam yang terlalu merepotkan seperti ini.

Orang yang meninggal akan diuji dalam kuburnya selama tujuh sampai 40 hari. Maka (keluarganya) dianjurkan untuk sedekah atau berkirim doa. Andai saya mati, keluarga saya akan bersedekah. Pergi ke panti jompo, panti asuhan, memberikan makanan (contohnya)…. tapi jangan sampai hanya karena tradisi ini yang miskin harus ngutang demi bisa bersedekah “Pak kami tau bapak tidak mampu, istrimu meninggal dunia maka biar kami yang membawakan makanan (membantu)”. Begitulah kata Ustad Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya.

Keluarga yang berduka justru terbebani dengan tanggung jawab amal demi pahala pada yang sudah tiada. Warga sekitar juga merasa mereka berhak mendapat sesuatu yang lebih dari sekadar air putih demi mendoakan saudara seimannya.

Benar-benar payah!

Mbok ya saling menguatkan, pemilik rumah harusnya menyediakan apa yang bisa mereka upayakan saja, sedangkan warga harusnya berjiwa besar dengan hadir tanpa menuntut apapun.  Kalau perlu, jika yang ditinggalkan itu tidak mampu ya harusnya mereka yang membantu, itu baru gotong royong khas desa dengan nuansa islami.

Sayangnya, orang kampung itu sulit dikritik bahkan tidak mau dikritik dengan dalih “kami ini orang kampung, orang miskin, orang kecil, bla bla bla”. 

Mereka sangat konservatiif, orangnya kuno dan tak bisa berinovasi. Memang budaya ini tak akan pudar selama 50 tahun ke depan, saya sangat skeptis dengan itu.

Dalam konteks ini, tahlilan bukan lagi menjadi sumber kekuatan spiritual, melainkan justru menjadi beban sosial yang membebani keluarga yang sedang berduka. Praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam ini perlu dikritisi dan diluruskan agar tidak semakin merusak esensi dari tahlilan itu sendiri.

Sebagai umat Islam, kita perlu kembali kepada sumber ajaran agama. Tahlilan seharusnya menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi, saling menguatkan, dan mendoakan orang yang telah meninggal dengan tulus dan ikhlas. Bukan ajang untuk memamerkan kekayaan atau mengikuti tradisi yang tidak jelas asal-usulnya.

Sekian dan terimakasih. 

Author

Seorang guru honorer yang tak mau naik jabatan PNS. Aktif memberikan edukasi lewat berbagai konten dan forum akademisi sambil berharap mampu merubah tingkat literasi masyarakat Indonesia.Pekerjaan: Influencer Media Sosial dan Tenaga Pengajar (Guru).

Write A Comment